Sabtu, 22 Oktober 2011

Habib Muhammad Bin Husein Alaydrus (1318 - 1389 H)


Al Habib Muhammad bin Husein Al Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut perkiraan tahun 1318 H. Kewalian dan sir beliau tidak begitu tampak di kalangan orang awam. Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah bukan hal yang asing lagi, karena memang beliau sendiri lebih sering bermuamalah dan berinteraksi dengan mereka.

Sejak kecil habib Muhammad dididik dan diasuh secara langsung oleh ayah beliau sendiri Al ’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin Al Aydrus. Setelah usianya dianggap cukup matang oleh ayahnya, beliau Al Habib Muhammad dengan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merantau ke Singapura.

"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" (Q.S an-Nisa’:97)

Setelah merantau ke Singapura, beliau pindah ke Palembang, Sumatera Selatan. Di kota ini beliau menikah dan dikaruniai seorang putri. Dari Palembang, beliau melanjutkan perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi saksi bisu pertemuan beliau untuk pertama kalinya dengan Al Imam Quthb Al Habib Abu Bakar bin Muhammad As Seggaf, Gresik. Di Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib Al Atthos.

Dari Pekalongan beliau pidah ke Surabaya tempat Habib Musthafa Al Aydrus yang tidak lain adalah tempat pamannya tinggal. Seorang penyair, Al Hariri pernah mengatakan:

Cintailah negeri-negeri mana saja yang menyenangkan bagimu dan jadikanlah (negeri itu) tempat tinggalmu.

Akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal bersama pamannya di Surabaya, yang waktu itu terkenal di kalangan masyarakat Hadramaut sebagai tempat berkumpulnya para 'Auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya dan masih banyak lagi para habaib yang mengharumkan nama kota Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad Al Aydrus masih suka berziarah, terutama ke kota Tuban dan Kudus selama 1-2 bulan.

Dikatakan bahwa para sayyid dari keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah Habib Muhammad) adalah para sayyid dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar (rahasia-rahasia). Mulai dari ayah, kakek sampai kakek-kakek buyut beliau tampak jelas bahwa mereka mempunyai maqam di sisi Allah SWT. Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk menjadikan beliau-beliau sebagai figur teladan.

Diriwayatkan dari sebuah kitab manaqib keluarga Al Habib Zainal Abidin mempunyai beberapa karangan yang kandungan isinya mampu memenuhi 10 gudang kitab-kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh para pakar dan ahli (para Ashlafuna Ash Sholihin).

Habib Muhammad Al Aydrus adalah tipe orang yang pendiam, sedikit makan dan tidur. Setiap orang yang berziarah kepada beliau pasti merasa nyaman dan senang karena memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap waktu beliau gunakan untuk selalu berdzikir dan bersholawat kepada datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau juga gemar memenuhi undangan kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu bernilai kebenaran-kebenaran sekalipun pahit akibatnya. Tak seorangpun dari kaum muslimin yang beliau khianati, apalagi dianiaya.

Setiap hari, jam 10 pagi hingga dzuhur beliau selalu menyempatkan untuk Openhouse menjamu para tamu yang datang dari segala penjuru kota, bahkan ada sebagian dari mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-kitab yang menceritakan perjalanan kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah bersama para jamaahnya.

Diantara mujahadah beliau r.a, selama 7 tahun berpuasa dan tidak berbuka kecuali hanya dengan 7 butir kurma. Pernah juga beliau selama 1 tahun tidak makan kecuali 5 mud saja. Satu mud ialah 675 gram. Beliau pernah berkata,

“Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Aku juga senantiasa menguji nafsuku ini dengan meniru perjuangan mereka(kaum salaf) yang tersurat dalam kitab-kitab itu.”

Digelar Habib Neon

Pada suatu malam, ketika ribuan jamaah tengah mengikuti ta'lim di sebuah masjid di Surabaya, tiba-tiba bekalan elektrik terpadam. Tentu saja mereka risau, heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah purnama. Ketika itulah dari kejauhan tampak seseorang berjalan menuju masjid. Dia mengenakan gamis dan serban putih, berselempang kain rida warna hijau. Dia ialah Habib Muhammad bin Husein Al Aidrus.

Begitu masuk ke dalam masjid, aneh dan ajaib, mendadak masjid terang-benderang seolah ada lampu neon yang menyala. Padahal, Habib Muhammad tidak membawa obor atau lampu. Para jamaah keheranan. Setelah diperhatikan, ternyata cahaya terang-benderang itu keluar dari tubuh sang habib. Maka, sejak itu beliau mendapat gelaran Habib Neon.

Habib Muhammad bin Husein Al Aidrus wafat pada 30 Jamadil awal 1389 H/22 Juni 1969 M dalam usia 71 tahun dan jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Pegirikan, Surabaya, di samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Al Aidrus, sesuai dengan wasiatnya.

Setelah beliau wafat, aktiviti dakwahnya dilanjutkan oleh puteranya yang ketiga, Habib Syeikh bin Muhammad Al Aidrus dengan membuka majlis burdah di Ketapang Kecil, Surabaya. Haul Habib Muhammad diselenggarakan setiap hari Kamis pada akhir bulan Jamadil awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FacebookZ