Menghormati dan meneladani seorang yang berilmu tinggi seperti ulama’ atau wali merupakan suatu perbuatan yang baik, karena ulama’ dan auliya’ itu adalah pewaris para nabi. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “Para Ulama’ adalah Pewaris para Nabi.” (al Hadits)
Di zaman yang begitu modern ini kita sering disibukkan dengan kegiatan-kegiatan duniawi yang terkadang membuat kita sedikit terlupa dengan kegiatan ukhrowi. Kali ini kami akan mengajak para pembaca sekalian sejenak untuk sedikit membuka mata dan hati untuk mengikuti sekilas riwayat hidup salah seorang ulama’ besar waliyullah, di mana sebagian besar orang sudah melupakannya dan mungkin ada juga yang tidak tahu. Beliau adalah Al Habib Al ‘Allamah Al ‘Arif billah Abdullah bin Ali Al Haddad.
KELAHIRAN DAN NASAB BELIAU
Habib Abdullah bin Ali Al Haddad dilahirkan pada tanggal 4 Shafar 1261 H atau sekitar 12 Pebruari 1840 M di kota Tarim, Hadramaut, sebuah kota tempat tinggal Al Imam Al Haddad(pengarang kitab Rothibul Haddad), yang juga dikenal sebagai tempat kelahiran para Auliya’ Qutb. Nasab beliau bersambung kepada Rasulullah SAW.
Abdullah bin Ali bin Hasan bin Husain bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakr bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi bin Muhammad An Nagib bin Ali Al ‘Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al Bagir bin Ali Zainal Abidin bin Husain Bin Ali bin Abi Thalib/Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
PENDIDIKAN DAN PERJALANANNYA.
Habib Abdullah diasuh dan dididik dalam keluarga yang di dalamnya tercium semerbak harum kenabian, kewalian,dan keilmuan. Sejak kecil ayahnya sendiri, yaitu Al ‘Allamah Al Habib Ali bin Hasan Al Haddad yang memberikan pendidikan terutama dalam menghafal Al Quran, sehingga pola fikirnya terarah menurut bimbingan Al Quran.
Dalam perjalanannya menuntut ilmu di tarim, beliau sempat belajar beberapa cabang ilmu dari para ulama’ terkenal seperti mufti Al Habib Al ‘Allamah Abdurrahman Al Masyhur(pengarang kitab Bughyatul Musytarsyidin). Di samping itu beliau juga belajar kepada Al Habib Umar bin Hasan Al Haddad di Ghurfah, Al Habib Idrus bin Umar Al Habsyi di Siwun, serta Al Habib Muhsin bin Alwi Assegaf dan Al Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih. Dari guru-gurunya itulah beliau memperoleh ilmu tafsir, foqh, hadits, dll.
Di samping itu, beliau juga banyak memperoleh ijazah dan pengakuan dari tokoh-tokoh ulama’ serta ahli sufi di zamannya sebagai bukti kemahiran dalam ilmu syari’at dan hakikat. Tasawuf di kalangan Al Alawiyyin di Hadramaut tidak terikat pada tarekat tertentu, melainkan bertumpu pada ibadah, dzikrullah, serta sunnah Rasulullah SAW yang digunakan sebagai amal serta perjalanan hidup sehari-hari dengan penuh keikhlasan serta ridlo kepada Allah Azza Wa Jalla. Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad yang sangat terkenal juga disebut sebagai tarekat Haddadiyah, sehingga diakui sebagai tokoh sufi terkemuka dari Mursyid Thariqah Al Haddadiyah Al Alawiyah. Oleh karena itu, Habib Abdullah menjadikan kitab-kitab Al ‘Allamah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad sebagai bacaan wajib dan harus dihafal oleh beliau.
Pada tahun 1281 H/1860 M beliau meninggalkan kampung halamannya menuju ke kota Dlo’an untuk memperluas ilmu pengetahuannya dengan belajar ke beberapa ulama’ dan berziarah ke makam ulama’ seperti As Syeikh Said bin Isa Al Amudi. Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya mencari ilmu ke kota Gidun dengan mempelajari beberapa cabang ilmu kepada Al Habib Thahir bin Umar Al Haddad dan As Syeikh Muhammad bin Abdullah Basawdan. Di hadapan mereka, beliau membaca kitab Manhajut Thalibin karangan Imam Nawawi dan mendapatkan ijazah beberapa cabang ilmu seperti ilmu logika, nash, periwayatan, aqidah dan ushul.
Pada tahun 1291 H beliau menikah dengan Syarifah Aisyah binti Hamid bin Alwi Al Hamid di tarim. Dari perkawinannya itu beliau dikaruniai 5 orang anak, yaitu Alwiyah, Nur, Fatimah, Muznah, dan Hasan.
Pada tahun 1294 H/1873 M beliau pergi ke kota Guairoh dan bertemu dengan Al Habib Al Allamah AL Arif billah Ahmad bin Muhammad Al Muhdlor(ayah Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdlor, Bondowoso). Habib Abdullah belajar beberapa cabang ilmu yang tinggi dan mendapat ijazah dari beliau. Dalam satu muqoddimah ijazahnya disebutkan, “Aku memberikan ijazah kepada keturunan Al Qutb Al Ghouts Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, seorang putra yang sungguh-sungguh ahli ibadah, tampak di wajahnya cahaya yang bersinar cahaya ulama’ salaf, da’i akan menggantikan kedudukan salaf pendahulunya, dan aku anggap dia sebagai anakku.”
Pada tahun 1295 H/1874 M beliau harus mengerjakan rukun Islam yang ke lima yaitu ibadah haji ke baitullah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW. Selama di mekkah beliau tinggal di rumah Al Mufti Al Habib Muhammad bin Husain Al Habsyi(seorang ulama’ besar, ayah pengarang kitab Simtud Duror, Al Habib Al Imam Al Allamah Ali bin Muhammad Al Habsyi). Di Jarwal beliau menyempatkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu lain seperti ilmu nahwu, aruld, qowaid, mantiq, dll. Selain itu beliau mendapatkan ijazah dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Selanjutnya beliau menuju kota Madinah Al Mukarromah dan tinggal di sana selama 4 bulan. Di Madinah beliau menemui Al Syeikh Muhammad Abd. Mukti bin Muhammad Al Azb(seorang faqih serta pakar bahasa arab yang juga pengarang kitab maulid Azb. Beliau juga meminta ijazah kepadanya tetapi tidak memberikannya sebelum diberi ijazah terlebih dahulu oleh Habib Abdullah. Maka Habib Abdullah memberikannya ijazah berupa wirid-wirid karangan Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad sebelum Syekh Azb akhirnya memberikan ijazah kepada beliau. Kemuliaan Al Habib Abdullah Al Haddad ditampakkan ketika beliau ditemui oleh Habib Umar Syato(Mufti Haromain). Diceritakan bahwa Sayyid Umar menerima ru’ya dari Nabi dan diperintahkan agar berziarah kepada Habib Abdullah bin Ali Al Haddad. “Dia adalah cucuku yang sebenarnya”, kata Nabi. Setelah berjumpa dengan Habib Abdullah bin Ali Al Haddad, Sayyid Umar Syato menciumi lutut dan kaki serta meminta maaf kepadanya karena tidak mengetahui kedudukan Habib Abdullah jika tidak diberitahukan oleh Nabi.
Pada tahun 1297 H/1879 M beliau berda’wah ke tanah melayu. Mula-mula ke Singapura, kemudian menuju Johor. Di Johor beliau memperoleh sahabat yaitu Syed Salim bin Thaha Al Habsyi dan Sultan Abu Bakar bin Ibrahim(Sultan Johor saat itu). Pada waktu peresmian istana Sultan Johor ini, datanglah Sultan Ahmad dari negeri Pahang yang kemudian mencari dan meminta Habib Abdullah untuk menjadi mufti di negerinya, namun ditolak oleh beliau dengan baik dan bersahabat. Habib Abdullah tinggal di Johor selama 4 tahun dan menikah dengan keluarga Al Syahab, namun istrinya wafat tak lama setelah menikah.
Beliau adalah orang yang tidak suka difoto atau dilukis. Beberapa kali dicoba untuk difoto tanpa sepengetahuan beliau, tetapi foto tersebut tidak jadi/rusak. Beliau bersifat tawadlu’, hal ini tampak sekali dalam nasehat dan tulisan yang beliau karang. Di mana beliau selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk tidak takabur, sombong dan riya’, karena hal serupa itu adalah sifat setan.
PERJALANAN BELIAU KE INDONESIA
Setelah 4 tahun di Johor, beliau meneruskan pengembaraan da’wahnya ke pulau Jawa, Indonesia. Mula-mula tiba di Betawi, yang ketika itu masih dalam pemerintahan Hindia Belanda. Tak lama di Betawi beliau lalu meneruskan ke Bogor, Solo, dan Surabaya, tetapi semua kota di Indonesia yang disinggahi dan dilaluinya tidak dapat menarik hati beliau untuk menetap di tempat tersebut walaupun diajak oleh penduduk setempat. Akhirnya pada bulan Syawal 1301 H/1903 M tinggallah beliau di kota Bangil, Jawa timur. Di sinilah akhirnya beliau memutuskan untuk tinggal dan berda’wah Islam. Kemudian tanggal 27 Jumadil Awwal 1302 H/1903 M beliau menikah dengan Syarifah Maryam binti Ali Al Aydrus(seorang istri yang sangat taat beribadah kepada Allah, bebakti kepada suaminya dan selalu membasahi lidahnya dengan berdzikir kepada Allah SWT serta bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW). Dalam pernikahannya, beliau dikaruniai 4 putri dan 6 putra, diantara putra beliau adalah Muhammad, Hamid, Ali, dan Umar. Di rumahnya, beliau membuka majlis ta’lim di masjid Kalianyar. Pekerjaan beliau adalah berdagang minyak wangi, ma’jun dll. Beliau tidak menjual kecuali dengan kontan. Beliau mengatakan, “Saya tidak ingin menyibukkan pikiran saya dengan memikirkan hutang para pembeli”. Dan kebiasaannya adalah beliau tidak mau menerima shadaqoh atau hadiah dari seseorang kecuali bila orang itu mengambil sesuatu yang beliau jual. Beliau sangat memperhatikan fakir miskin, sangat pemurah dan selalu menjalin hubungan dengan baik dengan para ulama’.
Murid beliau sangat banyak sekali dan diantara muridnya yang menjadi kyai antara lain Kyai Zayadi, Kyai Husain, Kyai Mustofa, Kyai Asyiq serta Kyai Muhammad Thahir dari Bangku, Singosari dan Kyai Kholil Bangkalan. Di antara para habaib yang menjadi murid beliau adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdlor, Habib Alwi bin Muhammad Al Haddad, Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi serta Habib Ahmad bin Muhsin Al Haddar. Beliau juga pernah member ijazah kepada Syekh Kyai Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang. Di samping itu, rumah beliau juga terbuka untuk umum, ulama’ dan auliya’, bahkan raja-raja. Kebanyakan dari mereka datang untuk meminta do’a dan berkah, karena mereka yakin bahwa Habib Abdullah adalah orang yang bertaqwa kepada Allah. Diantara para habaib yang menjadi murid beliau adalah Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdor, Habib Alwi bin Muhammad Al Haddad, Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi serta Habib Ahmad bin Muhsin AL Hadar.
KELUHURAN BUDI BELAU
Pada suatu hari datanglah seorang raja dari bugis berziarah dan membawa hadiah untuk beliau berupa satu peti emas yang berisikan kayu gaharu dan sejumlah besar uang. Setelah menerima hadiah itu, beliau bertanya kepada raja tersebut, “Apakah di negerimu ada orang yang berhak menerima sadaqah?”, raja tersebut menjawab , “Ya, ada”. Kemudian Habib Abdullah mengembalikan hadiah tersebut dan memintanya untuk membagi-bagikan hadiah tersebut kepada fakir miskin yang ada di negerinya, seraya beliau mengatakan “Alhamdulillah kami dalam keadaan mampu”, dan menunjukkan kepada raja tersebut kantong yang penuh dengan uang emas. Maka raja tersebut ketakutan dan meminta maaf serta melaksanakan apa yang diminta oleh Habib Abdullah. Beliau sangat cinta kepada fakir miskin sehingga tidak kurang dari 70 rumah menjadi tanggungan beliau setiap bulannya.
Habib Abdullah adalah seorang ulama’ yang tidak pernah segan untuk menyatakan kebenaran kepada siapapun. Habib Abdullah adalah imam di zamannya, yang selalu mengajak umatnya ke jalan Allah dengan dasar islam yang benar. Beliau seorang yang alim dhohir dan batin, syari’at dan hakikat, pewaris ilmu Nabi yang diamalkannya sesuai dengan amalan Nabi.
MUJAHADAH BELIAU
Di masa mudanya, beliau tidak pernah meninggalkan ibadahnya, baik yang wajib maupun yang sunnah. Dalam keadaan bagaimanapun beliau konsisten menjalankan ibadahnya seperti sholat, puasa dll. Pada suatu saat badan beliau menjadi lemah dan kesehatannya terganggu, melihat keadaan seperti ini, sang ibu dengan sangat kasihan dan tidak tega berkata, “Hai anakku, bila engkau ingin kebaikan dan keridloanku, taatilah perintahku”, setelah itu beliau menunaikan sholat fardlu dan rawatib saja. Selama hidupnya beliau hanya makan sebanyak ¼ atau seratus lima puluh gram dalam sehari.
Waktu maghrib sampai isya’ merupakan waktu yang diutamakan beliau untuk membaca Al Qur’an dengan hafalan sembari didampingi oleh putranya Muhammad. Setelah sholat isya’ berjamaah beliau istirahat selama 2 jam, setelah itu beliau manfaatkan untuk muthola’ah sampai jam 12 malam, kemudian beliau beristirahat dan bangun jam 2 malam dilanjutkan dengan mengerjakan sholat dan berkeliling kota Bangil hingga pukul 3 pagi. Sesampainya di rumah, beliau lanjutkan dengan sholat tahajjud hingga menjelang fajar. Kemudian sholat subuh berjamaah bersama keluarganya dan membaca wirid sampai menjelang waktu sholat dhuha. Lalu mengerjakan sholat dhuha sebanyak 8 rakaat. Begitulah amalan beliau yang dikerjakannya setiap malam.
Pada suatu malam ketika keliling kota Bangil, beliau bertemu dengan seorang penjaga malam(hansip). Hansip tersebut bingung dan bertanya, “Kenapa malam-malam begini Habib berkeliling di jalan?”, Habib Abdullah balik bertanya, “Mengapa kalian berada di pos penjagaan ini?”, hansip tersebut menjawab, “Kami ada tugas dari bapak camat”, maka dijawab oleh Habib Abdullah, “Saya mendapat tugas dari penguasa alam semesta ini(Ahkamul Hakimin).”
Penulis manakib ini(Habib Ali bin Abdullah Al Haddad) bercerita, pada suatu malam di rumah seorang miskin tidak ada uang dan makanan, kemudian anak-anaknya menangis kelaparan, tidak selang beberapa lama, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu rumahnya, kemudian dibukakanlah pintu untuk tamu tersebut. Ternyata tamu itu adalah Habib Abdullah bin Ali Al Haddad dan memberinya uang untuk membeli makanan. Begitulah perilaku beliau yang sangat agung sebagaimana dicontohkan oleh sahabat Nabi, Umar bin Khottob dan Imam Ali bin Abi Tholib KWH yang sangat perhatian terhadap rakyatnya yang fakir miskin.
KEKERAMATAN BELIAU
Dalam acara rahah(majlis ta’lim) di masjid kalianyar dengan membacakan kitab-kitab karangan Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, rahah ini dihadiri tidak kurang dari 60 orang. Menjelang maghrib, kopi yang beliau siapkan dari rumah yang ditempatkan di ceret yang agak kecil yang hanya cukup untuk jamaah yang hadir, mulai beliau hidangkan. Tiba-tiba ada kunjungan Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdlor dengan rombongannya sekitar 60 orang. Maka, Habib Abdullah menyuruh Syekh Mubarok Jabli menuangkan kopi dan menghidangkan nya kepada para tamunya. Pada saat menuangkan kopi Syekh Mubarok Jabli yakin bahwa kopinya telah habis(dalam hatinya berkata, “Apa yang harus saya tuangkan karena sudah tidak ada kopi setetespun dalam ceret ini”), kemudian Habib Abdullah mengulangi perintahnya, “Segera engkau tuangkan kopi!”, terpaksa Syekh Mubarok Jabli memegang kaki putranya, Muhammad dan berbisik, “Katakan ceretnya sudah kosong!”, Habib Muhammad menjawab, “Turutilah perintah Al Walid!”, kemudian Syekh Mubarok Jabli menuangkan ceret yang diyakini kosong. Ternyata atas izin Allah dapat memenuhi cangkir yang ada, bahkan lebih.
Dalam suatu kisah yang lain diceritakan, pada suatu hari Residen Pasuruan datang ke Bangil. Setelah sampai di stasiun dan turun dari kereta api, semua orang member hormat dan berdiri, kebetulan saat itu Habib Abdullah Al Haddad berada di stasiun untuk mengantar pamannya Habib Ahmad bin Hasan Al Haddad yang hendak pulang ke Surabaya. Habib Abdullah tetap duduk dan tidak berdiri. Residen Pasuruan tersebut lewat persis di depan Habib Abdullah Al Haddad. Selang beberapa waktu kemudian seorang polisi datang dan memerintahkan beliau datang ke kantor Residen. Beliaupun berangkat dan sampailah di kantor Residen, beliau turun dari dokar, selanjutnya menunggu di ruang depan. Kemudian datang seorang pegawai Residen dalam keadaan ketakutan, seraya berkata, “Sebaiknya Habib kembali saja, sebab Residen dan semua stafnya lari ketakutan setelah melihat Habib datang dengan didampingi dua ekor harimau yang membuka mulutnya hendak menerkam mereka.” Kemudian Habib Abdullah berkata, “Jangan memanggil saya kalau tidak ada keperluan!”. Setelah kejadian itu, Residen meletakkan jabatannya dan tidak keluar rumah sampai akhir hayatnya.
Habib Abdullah bin Ali Al Haddad selain ahli sufi dan da’wah, juga sangat berbakat dalam bidang sya’ir arab. Kumpulan syairnya dibukukan dalam bentuk Diwan(kumpulan syair) yang diberi nama “Al Galaid al Lisan li Ahl al Islam wa al Iman”. Bahkan kakeknya, Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, Shohibur Rotib al Haddad, dalam qosidahnya Ta’iyah al Kubro yang awal qosidahnya berbunyi, “Ba’atsu lijironil ‘aqiqi takhiyyati wa aauda’tuha rikhas shabakhina habani.” Qasidah ini berjumlah 249 bait. Pada saat yang berbeda, Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad pernah mengatakan, “Kelak qasidah ini akan disempurnakan oleh salah satu anak cucu saya(keturunan beliau) dengan satu bait.” Kemudia tiba saatnya qosidah ini ditambah satu bait oleh Al Habib Abdullah bin Ali Al Haddad(Kramat Bangil) yang berbunyi, “Wa alin wa ashabi wa man kana tabi’an li minha jhim fi kulli khatin wa rikhia”. Hal ini menunjukkan bahwa kekeramatan beliau, Al Habib Abdullah bin Ali Al Haddad jauh hari sebelumnya telah diketahui oleh kakeknya, wali Allah Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad.
Sampai akhirnya pada hari Jum’at sore, tanggal 15 Shafar 1331 H di kota Bangil, beliau dipanggil menghadap sang Khaliq. Beliau dimakamkan dekat mushollahnya yang terletak di daerah Sangeng Kramat, Bangil. Putra beliau yang masih hidup dan dewasa saat wafatnya adalah Habib Muhammad bin Abdullah Al Haddad, Habib Ahmad bin Abdullah Al Haddad, dan Habib Ali bin Abdullah Al Haddad, seorang yang alim dan sabar.
HASIL KARYA BELIAU
- Sullamuthalib li A’lal Maratib Syarah Ratib Haddad, diterbitkan di Jakarta.
- Hujjatul Mukminin fi Tawassul bisayyidil Mursalin.
- Kitab Maulidil Haddad, dalam bentuk nadzam tentang kelahiran Rasulullah SAW.
Demikian tentang sekilas perjalanan hidup Wali Qutub Habib Abdullah bin Ali Al Haddad yang hidupnya selalu dimanfaatkan untuk beribadah dan berda’wah demi kemaslahatan umat. Dan sebagai penghormatan kepada beliau, setiap tanggal 27 Shafar diadakan acara Haul di makam beliau di Sangeng Kramat, Bangil. Semoga Allah memberinya kedudukan yang mulia di sisi-Nya dan menjadikan manfaat serta suri tauladan bagi kita sekalian. Amin Ya Robbal’Alamin.
Sumber : Tulisan Habib Ali bin Abdullah Al Haddad dan Habib Abdul Qodir Jailani bin Salim Al Khirid, serta berbagai sumber.