Jumat, 18 Februari 2011

SYAHID SELEPAS MENGUCAP SYAHADAT

Suatu ketika tatkala Rasulullah SAW sedang bersiap di medan perang Uhud, tiba-tiba terjadi hal yang tidak terduga. Seorang lelaki yang bernama Amar bin Thabit telah datang menemui Baginda SAW. Dia rupanya ingin masuk Islam dan akan ikut perang bersama Rasulullah SAW Amar ini berasal dari Bani Asyahali. Sekalian kaumnya ketika itu sudah Islam setelah tokoh yang terkenal Saad bin Muaz memeluk Islam. Tetapi Amar ini enggan mengikut kaumnya yang ramai itu. Keangkuhan jahiliyyah menonjol dalam jiwanya, walaupun dia orang baik dalam pergaulan. Waktu kaumnya menyerunya kepada Islam, ia menjawab, “Kalau aku tahu kebenaran yang aku kemukakan itu sudah pasti aku tidak akan mengikutnya.” Demikian angkuhnya Amar.

Kaum Muslimin di Madinah pun mengetahui bagaimana keanehan Amar di tengah-tengah kaumnya yang sudah memeluk Islam. Ia terasing sendirian, hatinya sudah tertutup untuk menerima cahaya Islam yang terang benderang. Kini dalam saat orang bersiap-siap akan maju ke medan perang, dia segera menemui Rasulullah SAW, menyatakan dirinya akan masuk Islam malah akan ikut berperang bersama angkatan perang di bawah pimpinan Rasulullah SAW . Pedangnya yang tajam ikut dibawanya.

Rasulullah SAW menyambut kedatangan Amar dengan sangat gembira, tambah pula rela akan maju bersama Nabi Muhammad SAW . Tetapi orang ramai tidak mengetahui peristiwa aneh ini, karena masing-masing sibuk menyiapkan bekalan peperangan. Di kalangan kaumnya juga tidak ramai mengetahui keIslamannya. Bagaimana Amar maju sebagai mujahid di medan peperangan. Dalam perang Uhud yang hebat itu Amar memperlihatkan keberaniannya yang luar biasa. Malah berkali-kali pedang musuh mengenai dirinya, tidak dipedulikannya. Bahkan dia terus maju sampai saatnya dia jatuh pingsan.

“Untuk apa ikut ke mari ya Amar?” Demikian tanya orang yang heran melihatnya, sebab sangka mereka dia masih musyrik. Mereka kira Amar ini masih belum Islam lalu ikut saja pada orang ramai. Dalam keadaan antara hidup dan mati itu Amar lalu berkata, “Aku sudah beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, lalu aku siapkan pedangku dan maju ke medan perang. Allah SWT akan memberikan syahidah padaku dalam waktu yang tidak lama lagi.” Amar meninggal. Rohnya mengadap ke hadrat Illahi sebagai pahlawan syahid. Waktu hal ini diketahui Rasulullah SAW, maka Baginda SAW pun bersabda : “Amar itu nanti akan berada dalam syurga nantinya.” Dan kaum Muslimin pun mengetahui akhir hayat Amar dengan penuh takjub, sebab di luar dugaan mereka. Malah Abu Hurairah r.a sahabat yang banyak mengetahui hadith Rasulullah SAW berkata kaum Muslimin, “Coba kamu kemukakan kepadaku seorang yang masuk syurga sedang dia tidak pernah bersyarat sekalipun juga terhadap Allah SWT.”

“Jika kamu tidak tahu orangnya.” Kata Abu Hurairah r.a lagi, lalu ia pun menyambung, ujarnya, “Maka baiklah aku beritahukan, itulah dia Amar bin Thabit.” Demikianlah kisah seorang yang ajaib, masuk syurga demikian indahnya. Ia tidak pernah solat, puasa dan lain-lainnya seperti para sahabat yang lain, sebab dia belum memeluk Islam. Tiba-tiba melihat persiapan yang hebat itu, hatinya tergerak memeluk Islam sehingga ia menemui Rasulullah SAW. Ia menjadi Muslim, lalu maju ke medan perang, sebagai mujahid yang berani. Akhirnya tewas dia dengan mendapat syahadah yaitu pengakuan sebagai orang yang syahid. Mati membela agama Allah SWT di medan perang. Maka syurgalah tempat bagi orang yang memiliki julukan syahid. Rasulullah SAW menjamin syurga bagi orang seperti Amar ini.


Susan Carland, Aktivis Gereja yang Menemukan Kelembutan Islam


Tahun 2004 lalu, mungkin menjadi tahun yang paling berkesan bagi seorang Susan Carland. Betapa tidak, wanita kelahiran Melbourne, Australia, ini terpilih sebagai Tokoh Muslim Australia (Australian Muslim of the Year) 2004. Sejak saat itu, sosoknya dikenal luas di seluruh penjuru Negeri Kangguru, bahkan hingga ke negeri tetangga.

Kendati pernah dinobatkan sebagai Tokoh Muslim Australia berpengaruh, sejatinya Susan bukan berasal dari keluarga Muslim. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk Kristen yang taat. Ia sendiri baru mengenal Islam pada usia yang baru menginjak 19 tahun.

Orang tuanya bercerai ketika Susan berusia tujuh tahun. Ia kemudian memilih untuk tinggal bersama ibunya, yang dianggapnya sebagai sosok wanita yang gigih, penyayang, dan orang yang paling banyak memengaruhi perjalanan kehidupannya.

Sebagai pemeluk Kristen yang taat, sang ibu pun mengharuskan anak gadisnya itu untuk aktif dalam kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. Namun, ketika menginjak usia 12 tahun, ia memutuskan tidak lagi menghadiri kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. “Saat itu, saya beralasan bahwa saya tetap percaya kepada Tuhan meskipun tidak ke gereja.”

Namun, keinginan yang kuat untuk mengenal Tuhan lebih jauh pada akhirnya mendorong Susan untuk ikut aktif lagi di kegiatan gereja. Ia kemudian memutuskan bergabung dengan sebuah komunitas gereja yang menurutnya terbilang lebih toleran dibandingkan yang sebelumnya pernah ia masuki.

Walaupun aktif dalam kegiatan gereja, diakui Susan, dirinya tetap bisa melalui masa remajanya seperti kebanyakan gadis seusianya. Pada waktu senggang, ia mengikuti kelas balet dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya yang diselenggarakan oleh sekolahnya.

Saat aktif di komunitas gereja baru ini, ia kerap mendengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya yang mengaku berbicara dengan Tuhan dalam bahasa roh. Hal tersebut menimbulkan kebingungan dalam dirinya yang saat itu tengah mempelajari konsep mengenai ketuhanan.

Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-17, Susan membuat beberapa resolusi di tahun baru. Salah satu resolusinya adalah menyelidiki agama-agama lain. “Agama Islam saat itu tidak masuk dalam daftar teratas karena agama ini bagi saya terlihat asing dan penuh dengan kekerasan,” ungkapnya.

Pengetahuan tentang Islam yang dimiliki Susan kala itu hanya sebatas pada penjelasan-penjelasan yang ia baca di buku ensiklopedia anak-anak dan dalam film berjudul Not Without My Daughter. Di samping itu, ada juga pesan yang pernah disampaikan ibunya bahwa beliau tidak peduli jika dirinya menikah dengan seorang pengedar narkoba sekalipun, asalkan jangan dengan seorang Muslim.

Layar TV

Lalu, kenapa ia kemudian memilih Islam? Ada nilai lebih yang ia dapatkan dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yakni kedamaian dan kelembutan. Kebalikan dari yang pernah ia dengar sebelumnya.

Saat disuruh menjelaskan bagaimana ia bisa memutuskan menjadi seorang Muslimah, ibu dua anak ini menuturkan kepada harian The Star bahwa ia tidak bisa mengingat secara pasti, apakah dia menemukan Islam atau Islam menemukannya. Yang pasti, semua peristiwa tersebut tidak pernah ia rancang sebelumnya. “Hari itu, saya menyetel televisi dan mendapati diri saya sedang asyik menyaksikan sebuah program mengenai Islam,” ujarnya.

Sejak saat itu, berbagai artikel mengenai Islam di koran dan majalah selalu menarik perhatian Susan. Tanpa disadarinya, ia mulai mempelajari agama Islam. Ketika dalam proses pembelajaran tersebut, Susan justru menemukan sebuah ‘kelembutan’ yang tidak pernah ia temukan. Lagi pula, ajaran Islam menarik baginya secara intelektual.

“Agama ini jauh berbeda dibandingkan agama-agama yang pernah saya pelajari dan selidiki. Dalam Islam, ternyata tidak mengenal yang namanya pemisahan antara pikiran, tubuh, dan jiwa seperti halnya yang pernah saya pelajari dalam agama Kristen,” papar dosen sosiologi Universitas Monash, Australia, ini.

Berawal dari situ, Susan bertekad bulat untuk memeluk Islam. Satu kebohongan besar yang terpaksa ia lakukan adalah merahasiakan perihal keislamannya dari keluarga dan teman-temannya, terutama sang ibu.

Namun, takdir berkata lain. Rahasia yang telah ditutupinya rapat-rapat terbongkar juga ketika ibunya mengadakan perjamuan makan malam dengan menu hidangan utama daging babi. “Saat itu, saya mengalami dilema, antara mesti mengumumkan soal keislaman saya atau memakan makanan haram itu,” ujarnya mengenang peristiwa itu.

Dalam kebimbangan tersebut, ia pun berterus terang. Namun, tanpa ia sangka, reaksi yang ditunjukkan oleh ibunya sungguh membuatnya terkejut. Bukan kemarahan dan cacian, melainkan tangisan dan pelukan erat dari sang ibunda yang diterimanya.

Selang beberapa hari setelah insiden makan malam tersebut, istri dari Waleed Ali ini kemudian memutuskan mengenakan jilbab. Menurutnya, menutup kepala merupakan kewajiban bagi seorang Muslimah. Karena, hakikatnya, Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia. Bagi dia, banyak manfaat yang dirasakan dengan menutup aurat itu. “Selain sebagai sebuah peringatan agar kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya, juga menjadikan wanita Muslim sebagai duta Islam,” ujarnya.

Selepas memeluk Islam, perjalanan hidup yang dilalui Susan tidaklah semudah yang dialami segelintir mualaf yang bernasib baik. Susan sering berhadapan dengan kemarahan khalayak ramai dan dijauhi oleh teman-temannya. Bahkan, ia juga kerap mendapatkan penghinaan di depan umum terkait dengan jilbab yang menutupi kepala dan rambutnya.

Namun, kini semuanya berubah. Setelah lima tahun berislam, barulah Susan mempunyai teman-teman yang bukan saja berasal dari kalangan Muslim, tetapi juga dari non-Muslim. Dengan busana Muslim yang membalut tubuhnya, ia kini bebas mengajak anaknya untuk berjalan-jalan di taman kota ataupun bermain di dekat danau, di mana dulu semasa kecil ia sering diajak oleh ibunya untuk memberi makan bebek. Begitupun ketika ia pergi mengajar ke kampus dengan mengendarai VW Bettle warna merah muda yang biasa disapanya dengan panggilan ‘Gus’, tidak ada lagi tatapan sinis dari orang-orang di sekelilingnya.

Kisah Empat Remaja Inggris Menemukan Kehidupan Dalam Islam

Hasil survei terbaru dari Faith Matters menyatakan penyebaran Islam di Inggris lebih cepat ketimbang di negara Eropa lainnya. Per tahun, diperkirakan ada sekitar 5.000 mualaf baru di Inggris, sementara di Jerman dan Prancis jumlah mualaf per tahunnya sekitar 4.000 orang.

Peneliti dari Faith Matters menyurvei tiap masjid yang ada di London. Hasilnya, untuk Kota London saja, selama 2010 ada 1.400 mualaf baru. Ini belum termasuk data dari kota-kota di seluruh Inggris Raya.

Direktur Faith Matters, Fiyaz Mughal, mengatakan maraknya Islam di Inggris dipicu karena tingginya sorotan publik atas umat Muslim. “Warga ingin tahu apa sebenarnya Islam. Dan ketika mereka sudah tahu, sebagian kecil ada yang menjadi mualaf. Mereka menemukan kedamaian dalam Islam,” katanya.


Hana Tajima

Simak pernyataan Hana Tajima (23 tahun) yang bekerja sebagai perancang busana. “Awalnya aku memiliki beberapa teman Muslim saat kuliah. Saat itu aneh saja. Mereka jarang keluar malam, ke klub atau nongkrong,” katanya.

“Dan ketika aku mengambil mata kuliah filsafat, aku mulai bingung dengan makna hidupku. Padahal saat itu aku cukup terkenal di kampus. Aku sudah merasa cukup. Tapi aku bertanya, betulkah ini kehidupan yang aku inginkan?” kata Tajima, panjang lebar.

“Lalu aku membaca literatur tentang Islam dan perempuan. Anehnya, ternyata mereka sangat relevan. Semakin banyak aku membaca, semakin yakin aku terhadap Islam,” katanya.


Denise Horsley

Lain lagi dengan pengalaman Denise Horsley (26) yang bekerja sebagai guru menari. Ia kenal Islam lewat pacarnya. “Saat itu banyak orang bertanya apakah aku menjadi mualaf karena pacaran? Aku jawab tidak! Aku menemukan Islam. Aku tumbuh sebagai penganut Kristen,” katanya.

Horsley kini mengenakan jilbab. Ia mengatakan, jilbab adalah konsep penting dalam Islam. “Kerudung ini bukan sekedar pakaian atau tren. Mengenakan jilbab justru menyatakan kejujuran atas diri sendiri dan apa yang akan kau lakukan,” katanya.

“Sebenarnya sih, aku masih orang yang sama dengan yang sebelumnya. Cuma aku tidak minum-minuman keras, makan babi, dan sekarang aku shalat lima kali sehari,” katanya.


Dawud Beale

Pengalaman Dawud Beale (23) lebih unik. Sebelumnya, ia adalah pemuda rasis yang menyepelekan Islam. “Lalu aku berlibur ke Maroko. Di situ pertama kali aku berkenalan dengan Islam. Aku akui sebelumnya aku penganut rasis. Tapi sepekan usai pulang dari Maroko, aku memutuskan memeluk Islam,” katanya.

Beale bermukim di Somerset. Ketika ia baru-baru menjadi mualaf, sangat sukar menemukan masjid di Somerset, yang memang tidak ada. Ia lalu bertemu dengan rekan-rekan dari Hizbut Tahrir, gerakan politik Islam. “Ternyata banyak yang media barat katakan tentang Islam salah,” katanya.

“Aku yakin sudah menemukan jalan hidup yang tepat dalam Islam,” katanya lagi.


Paul Martin

Sementara Paul Martin (27) mengatakan ia menikmati gaya hidup sebagai muslim. “Awalnya aku berkenalan dengan Islam setelah mengamati gaya hidup teman-teman Muslim. Mereka tampak menikmati betul hidup, tidak merusak tubuhnya. Setelah itu, aku mendalami Alquran,” katanya.

Seorang teman Martin lantas mengenalkannya ke seorang tokoh Islam yang berprofesi sebagai dokter. Martin banyak berkonsultasi tentang Islam dengannya. Mereka mengobrolkan Islam di kafe. “Saya mengucapkan dua kalimat syahadat saya di kafe,” kata Martin. “Saya tahu banyak yang mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid, tapi bagi saya, Islam bukan sekedar tempat di mana kau percaya pada Allah SWT. Islam adalah tempat di hatimu,” katanya.

PENDETA KATOLIK FILIPINA YANG MENEMUKAN CAHAYA ISLAM




Ketika tokoh Muslim Moro, Nur Misuari menyatakan wilayah Mindanao harus memisahkan diri dari Filipina dan menjadi negara Islam, Estanislao Soria menjadi orang yang paling menentang keinginan Misuari. Sebagai seorang tokoh agama Katolik yang lahir di Mindanao, ia menolak keras jika tanah kelahirannya diambil alih oleh orang-orang Muslim.

Saya sangat tidak setuju dengan Misuari dan saya memelopori kampanye menentang gerakan Moro,” kata Soria yang populer di panggil “Father Stan”. Ketika itu, selain dikenal sebagai pendeta Katolik, Soria juga dikenal sebagai seorang sosiolog.

Sebagai seorang cendikiawan, ia tidak mau sembarangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keinginan Misuari. Soria pun melakukan riset sejarah dan sosial serta membaca artikel-artikel tentang Islam, untuk memperkuat argumennya menolak tuntutan gerakan Moro yang ingin menjadikan Mindanao sebagai tanah air bagi Muslim Filipina. Tapi siapa sangka, artikel-artikel tentang Islam yang ia baca, justru membawanya menjadi seorang Muslim.

“Sebagai orang yang memahami bahasa Latin, Yunani dan Yahudi, saya pikir saya bisa mempelajari bahasa Arab dengan mudah. Saya juga ingin menerjemahkan tulisan-tulisan berbahasa Arab ke bahasa Inggris dan menerjemahkan ideologi-ideologi Barat, misalnya ideologi eksistensialisme, ke dalam bahasa Arab. Tapi saya menyadari, ini adalah pekerjaan yang sulit,” kata Soria seperti dikutip dari Islamonline.

Ketika itu Soria meyakini, dengan banyak menerjemahkan artikel-artikel tentang ideologi Barat ke dalam bahasa Arab, akan membuat Muslim di Mindanao menghargai ajaran Kristen daripada ajaran Islam. “Saya ingin membuka wawasan berpikir mereka tentang kekristenan karena saya banyak mendengar hal-hal negatif tentang Muslim. Saya berpikir, mereka (Muslim) harus dididik,” ungkap Soria.

Tapi semakin ia mendalami bacaan-bacaanya tentang kekristenan, ia makin menyadari bahwa tokoh-tokoh gereja seperti Saint Thomas Aquinas ternyata banyak belajar dari buku-buku bacaan dan ajaran Islam. Begitu juga ideologi-ideologi dan ilmu teologi yang disebut-sebut sebagai berasal dari Barat, ternyata sudah sejak lama dibahas dalam Islam.

“Dari bacaan-bacaan itu saya mendapat pencerahan bahwa pemikiran-pemikiran tentang peradaban Barat banyak yang mengambil dari ajaran-ajaran Islam. Dan setelah saya membaca lebih banyak lagi buku-buku yang ditulis pakar agama Islam, pandangan saya terhadap Islam seketika berubah,” papar Soria.

Saya bahkan menyadari bahwa Injil Barnabas lebih kredibel dibandingkan dengan keempat injil yang dibawa oleh ajaran evangelis termasuk injil Kristen. Dari hasil riset sosiologi yang saya lakukan, saya juga banyak menemukan bahwa hal-hal negatif yang sering saya dengar tentang Muslim Filipina ternyata tidak benar,” tambah Soria.

Akhirnya, pada tahun 2001, Soria yang telah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun sebagai pendeta di berbagai kota di Manila, menyatakan diri masuk Islam. Setelah mengucap syahadat, ia mengganti namanya menjadi Muhammad Soria. Meski demikian, masih banyak orang, termasuk teman-temannya yang Muslim memanggilnya “Father Stan.”

Soria yang kini berusia 67 tahun mengatakan, ia mendapat hinaan dan kecaman dari kerabat dan rekan-rekan gerejanya ketika memutuskan menjadi seorang Muslim. Namun hinaan dan kecaman itu tidak membuatnya berat meninggalkan aktvitas kependetaan yang sudah dijalaninya selama 14 tahun dan membuatnya mantap untuk memeluk Islam.

Seiring perjalanan waktu, Soria mulai terbiasa menjalani kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim. Bagi Soria, Islam bukan sekedar agama tapi sudah menjadi jalan hidupnya. Selama tujuh tahun menjadi seorang Muslim, Soria sudah lima kali menunaikan ibadah haji, menjadi anggota Gerakan Dakwah Islam di Filipina dan tahun 2004 menikah dengan seorang perempuan berusia 24 tahun, setelah sebelumnya menjalani hidup membujang sebagai pendeta Katolik.

“Dalam Islam, kita diajarkan, jika bisa mendisplinkan diri kita, Sang Pencipta akan mengabulkan harapan-harapan kita,” tandas Soria.
Menurut Soria, jika ada satu hal yang harus dicontoh umat Islam dari orang-orang Kristen adalah, gerakan mereka yang terorganisir dan terstruktur dengan sangat rapi. “Dengan memiliki struktur yang kuat seperti yang dimiliki kalangan Kristiani, akan mempermudah penyebaran Islam,” kata Soria.

Salah satu cara untuk memperkuat struktur umat Islam, tambah Soria, Muslim harus membangun universitas-universitas di seluruh dunia seperti yang dilakukan kelompok misionaris Kristen di berbagai belahan dunia.


MENEMUKAN ISLAM LEWAT MAKNA KEMATIAN


Syekh Hamza Yusuf, yang juga dikenal dengan Imam Hamza Yusuf, bukanlah orang sembarangan. Di AS, dia merupakan salah seorang cendekiawan, ulama, dan tokoh Muslim AS yang sangat disegani. Kiprahnya tidak hanya pada bidang agama, namun juga pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Inilah yang membuat Pemerintah AS memilihnya untuk mewakili umat Muslim dan bertemu dengan presiden George W Bush.

Ketika gencar sorotan terhadap umat Islam usai kejadian 11 September 2001, Syekh Hamza berdiri di baris depan sebagai tokoh yang gencar menentang cara-cara kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Maka itu, pemikirannya kerap berseberangan dengan sebagian kalangan yang beraliran radikal.

Dalam berbagai kesempatan, Syekh Hamza senantiasa memperingatkan umat Muslim agar memahami Islam dengan baik, kembali kepada akidah yang murni, serta menjauhi jalan kekerasan, intoleransi, dan kebencian. "Ini harus menjadi perhatian umat Islam dan harus menjadi bagian hidupnya kendati dia tinggal di negara non-Muslim dan kerap mengalami diskriminasi. Tunjukkan bahwa Islam itu ramah dan toleran," tegasnya.

Pemikirannya ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keislamannya. Di sini, mungkin orang akan kaget ketika mengetahui bahwa sejatinya Syekh Hamza adalah mualaf. Pria kelahiran
Wala-wala, negara bagian Washington, tahun 1960 itu bernama asli Mark Hanson.

Orang tuanya merupakan dua akademisi ternama di AS. Ayahnya adalah profesor bidang filosofi, sementara ibundanya adalah pakar bidang lingkungan. Tak heran bila jiwa kecendekiawanan sudah mengalir dalam darahnya.

Masa kecil Mark Hanson pun dilingkupi semangat pendidikan serta ilmu pengetahuan. Saat beranjak dewasa, dia dimasukkan ke sekolah Kristen. Hingga pada suatu hari, tahun 1977, usianya sekitar 17 tahun, Mark mengalami kecelakaan hebat. Kepalanya terbentur keras yang hampir saja merenggut nyawanya.

Mark tak pernah melupakan peristiwa itu. Dia merenung, yang pada akhirnya membawa dirinya tertambat pada satu pertanyaan krusial tentang kematian. "Saya merasa mengalami konfrontasi dengan kematian. Inilah yang membuat saya melakukan refleksi diri, introspeksi, dan menyelami lebih dalam tentang kematian. Apa dan bagaimana sesudah mati," kata Syekh Hamza dalam halaman pribadinya.

Pergulatan itu yang terjadi pada diri Syekh Hamza. Introspeksinya lantas bersinggungan dengan unsur agama, yang dari pengakuannya, hal itu tidak bisa terhindarkan manakala dia pernah mendalami agama di sekolah seminari. Dari situlah, ayah lima anak ini memulai pencariannya akan makna kematian.

Mark Hanson menggali berbagai hal mengenai kematian dan kehidupan setelah mati dari Injil dan literaturliteratur Nasrani lainnya. Cukup lama waktu yang dihabiskannya, namun belum juga merasa tercerahkan dan menemukan jawaban dari keingintahuannya. Dia pun memutuskan mempelajari dari sumber agama lain, termasuk Islam, sebagai perbandingan.

Dan, Islam-lah yang membuatnya takjub. Syekh Hamza menguraikan, "Tidak ada penjelasan lebih detail dan mendalam menyangkut hal-hal yang terjadi setelah kematian seperti tercantum dalam literatur Islam. Ini sungguh menakjubkan.

"Islam sangat jelas menguraikan berbagai hal mengenai kematian dan setelahnya. Misalnya, di alam kubur manusia harus menghadapi pertanyaan dari malaikat, adanya hukuman atau pahala bagi tiap-tiap manusia sesuai amal perbuatan, hingga penghitungan di Padang Mahsyar. Sulit menemukan yang terperinci ini dalam agama lain. Islam telah memberikan jawaban yang sangat mencerahkan," papar Syekh Hamza.

Apa yang dia tangkap dari ajaran Islam tentang kematian adalah kehidupan di dunia hanya sementara. Adapun manusia akan mengalami momen yang lebih kekal di akhirat kelak. Jadi, dari perspektifnya, apa yang dilakukan semasa di dunia haruslah berorientasi pada pembekalan diri untuk bersiap memasuki alam akhirat.

Ketertarikannya terhadap Islam semakin besar. Namun, semakin dia belajar tentang Islam, semakin dia mengetahui ada aspek tertentu dari agama ini yang membuatnya harus merenung. Saat itu, pada akhir tahun 70-an, sedang timbul ketegangan di Iran usai tumbangnya rezim
Shah hingga menyeret Islam pada stereotipe negatif di kalangan Barat.

Mark Hanson gundah gulana. Untuk satu waktu, dia mengaku tidak ingin menjadi Muslim. Akan tetapi, dia tidak bisa menelikung batinnya untuk terus mendalami agama Islam. "Alhamdulillah, saya telah berulang kali menemukan kebenaran dalam hidup dan kini saya harus memilih, meninggalkan atau menjadi seorang Muslim. Atas rahmat Allah, saya memilih Islam," ujar dia.

Usianya ketika itu belum genap 18 tahun. Namun, Mark sudah berketetapan hati. Dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmilah menjadi seorang Muslim. Apa yang dilakukannya setelah itu? Mark langsung mengambil Alquran terjemahan dan membacanya terus-menerus. "Sebelumnya, saya tidak pernah membaca Alquran. Begitu membaca beberapa ayat, saya semakin mantap dengan keyakinan saya," tegas Syekh Hamza.

Rasa hausnya akan ilmu agama semakin membuncah. Meski demikian, Mark merasa tidak akan banyak hal yang bisa diperoleh jika terus tinggal di Amerika. Oleh karena itu, dia memilih meneruskan studinya di Inggris.

Menimba ilmu Di negara Eropa tersebut, Mark bergabung dengan komunitas Muslim setempat dan menimba pengetahuan tentang ilmu dan tradisi Islam. Tapi, dia ingin memperoleh lebih, kali ini keinginannya adalah belajar bahasa Arab dan itu harus dicapainya di sumbernya langsung, yaitu dunia Arab.

Kesempatan langka didapat saat bertemu
Syekh Abdullah Ali Mahmoud, seorang faqih dan alim sekaligus tokoh spiritual dari Uni Emirat Arab. Melihat semangat Mark yang meletup-letup untuk belajar bahasa Arab dan agama, Syekh Abdullah bersedia memfasilitasinya untuk belajar di UEA.

Sejumlah madrasah terkenal tercatat pernah menjadi tempatnya menekuni agama dan bahasa, seperti Ma'had al Islami, Islamic Institute di al-Ain, dan lainnya. Di samping itu, sederet ulama berpengaruh pun pernah menjadi gurunya, misalnya
Syekh Ahmad Badawi untuk ilmu hadis, Syekh Hamid untuk bahasa Arab, Syekh Abdullah Ould Siddiq untuk bidang ilmu fikih, serta masih banyak lagi.


FacebookZ